Selasa, 27 Mei 2008

Tugas-tugas perkembangan remaja

Setiap fase perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan tersebut merupakan pengharapan atas apa yang akan diakukan oleh seseorang pada masa perkembangannya. Tugas-tugas ini bersifat normatif, on time, dan diharapkan serta diantisipasi oleh individu.

Havighurst (Kimmel, 1995: 15) menawarkan suatu konsep tugas perkembangan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap atau fungsi yang diharapkan dapat dicapai oleh individu pada setiap tahap perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang individu melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.

Dengan memahami tugas-tugas perkembangan remaja, maka kita sebagai seorang pendidik atau seorang dewasa yang terlibat dalam penanganan masalah remaja dapat memotivasi remaja dan menolong remaja memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Walaupun demikian, janganlah kita sebagai pendidik menempatkan posisi tugas perkembangan ini sebagai suatu paksaan kepada remaja. Segalanya kembali kepada individu tersebut, pada apakah ia telah menyelesaikan tugas-tugas perkembangan tahap sebelumnya dengan baik, dan pada hambatan-hambatan yang dialaminya saat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya yang sekarang. Apabila kita menganggap tugas-tugas perkembangan itu seperti PR yang harus diselesaikan tepat waktu, dan penuh tekanan. Biarlah sang remaja menyelesaikan sendiri tugas-tugas perkembangannya menurut caranya, sementara kita orang dewasa membantunya bila ia menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas perkembangannya.

Tugas-tugas perkembangan seorang remaja menurut Havighurst adalah sebagai berikut :

  1. Mencapai suatu hubungan yang baru dan lebih matang antara lawan jenis yan seusia.

2. Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin.

3. Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif.

4. Mengharapakan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

6. Mempersiapkan karir ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan utnuk berperilkau dan mengembangkan ideologi.

Seorang remaja dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan ke dalam tiga tahap secara berurutan (Kimmel, 1995: 16). Tahap yang pertama adalah remaja awal, di mana tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya sebagai remaja adalah pada penerimaan terhadap keadaan fisik dirinya dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif. Hal ini karena remaja pada usia tersebut mengalami perubahan-perubahan fisik yang sangat drastis, seperti pertumbuhan tubuh yang meliputi tinggi badan, berat badan, panjang organ-organ tubuh, dan perubahan bentuk fisik seperti tumbuhnya rambut, payudara, panggul, dan sebagainya.

Tahapan yang kedua adalah remaja madya, di mana tugas perkembangan yang utama adalah mencapai kemandirian dan otonomi dari orang tua, terlibat dalam perluasan hubungan dengan kelompok baya dan mencapai kapasitas keintiman hubungan pertemanan; dan belajar menangani hubungan heteroseksual, pacaran dan masalah seksualitas.

Tahapan yang ketiga adalah remaja akhir, di mana tugas perkembangan utama bagi individu adalah mencapai kemandirian seperti yang dicapai pada remaja madya, namun berfokus pada persiapan diri untuk benar-benar terlepas dari orang tua, membentuk pribadi yang bertanggung jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di dalamnya juga meliputi penerimaan terhadap nilai dan sistem etik.

Demikianlah, penjelasan mengenai tugas-tugas perkembangan remaja sebagai satu bagian dalam memahami remaja sebagai suatu masa transisi. Diharapkan, pada saat ini kita telah sampai pada pemahaman bahwa sesungguhnya masa remaja adalah masa transisi yang menjembatani masa kanak-kanak yang tidak matang ke masa dewasa yang matang. Macam transisi yang berbeda akan membawa pengaruh yang berbeda pula bagi individu yang mengalaminya. Demikian pula dengan bagaimana cara kita melihat transisi tersebut akan mempengaruhi bagaimana kita dapat memahami apa yang dialami dan dirasakan oleh remaja. Selanjutnya, kita akan melihat perubahan dan perkembangan apa yang dialami oleh individu selama masa remajanya.

FILSAFAT_PENDIDIKAN

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Beberapa aliran filsafat pendidikan;

1. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.

2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan

3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

ESENSIALISME_&_PERENIALISME

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:

1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)

2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)

3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.

Tujuan Progresivisme

Meningkatkan masyarakat sosial demokratis.

Pemikiran Progresivisme

Progresivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya.

Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progresivisme” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajaran itu sendiri. Maka munculah “child centered curriculum” dan “child centered school”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya “my pedagogical creed”, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Jadi aplikasi ide Dewey adalah anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik dulu, baru peminatan.

Asas belajar

Pandangan mengenai belajar, filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya.

Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi dan stimuli-stimuli sehingga akal dan kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.

John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Artinya disini sebagai proses pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup disekolah saja.

Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik dan kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah dimana lingkungan itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah filsafat progresivisme menghendaki isi pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuar” atau “learning by doing”.

Tegasnya, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge atau pemindahan pengetahuan akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value atau pemindahan nilai-nilai, sehingga anak menjadi trampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.

John Locke mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan pendidikan anak. Kemudian Jean Jacques Rosseau menyatakan anak harus dididik sesuai dengan alamnya, jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa.

Hal yang harus diperhatikan guru adalah "anak didik bukan manusia dewasa yang kecil" yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan. Sehingga guru akan dapat mengetahui kapan dan saat bagaimana materi itu diajarkan. Pertolongan pendidikan dilaksanakan selangkah demi selangkah (step by step) sesuai dengan tingkat dan perkembangan psikologis anak.
Di samping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaklah yang progresive. Di sini prinsip kebebasan prilaku, di mana anak sebagai subyek pendidikan, sedangkan guru sebagai pelayan siswa.

Hal ini menunjukan bahwa John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran tradisional dimana ditandai dengan sifat verbalisme dimana terdapat cara belajar DDCH atau duduk, dengar, catat, hafal, murid bersifat reseptif dan pasif saja. Hanya dengan menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru mendominasi kegiatan belajar, tanpa memberikan kebebasan kepada murid untuk bersifat dan berbuat. Menjadi pendidikan yang progresif, yaitu tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik saja, melainkan yang terpenting ialah melatih kemampuan berpikir secara ilmiah. Semua itu dilakukan oleh pendidikan agar orang dapat maju atau mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat bertindak dengan intelegen sesuai dengan tuntutan dari lingkungan

Dari uraian di atas, dapatlah diambil suatu konklusi asas progresivisme dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif kreatif dan dinamis dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.

Kurikulum Progresivisme

Selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.

Pendidikan dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat untuk membantu perkembangan pribadi anak. Faktor anak merupakan faktor yang cukup urgen (penting), karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu hak pribadi anak perlu diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya. Dengan kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan sebagai obyek pendidikan.

Untuk memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sekolah didirikan karena tidak mempunyai orangtua atau masyarakat untuk mendidik anak. Karena itu kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi anak, orangtua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.

Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.

Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Dengan berlandaskan sekolah sambil berbuat inilah praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (Iapangan) merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing. Dalam hal ini, filsafat progresivisme ingin membentuk keluaran (out-put) yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.

KONSTRUKTIVISME

  1. Pengenalan

Kurikulum Baru Sekolah Rendah (KBSR) mempunyai matlamat memperkembangkan fungsi murid secara menyeluruh dan bersepadu bagi mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelek, rohani, emosi dan jasmani supaya mereka dapat menjalani kehidupan seharian mereka dengan berkesan dan penuh tanggungjawab. Untuk mencapai matlamat ini, di antara lain, guru perlu mempunyai kemahiran memilih kaedah pengajaran dan pembelajaran dengan bijaksana supaya kaedah yang dipilih itu sesuai dengan murid-murid yang pelbagai kebolehan dan minat.

Ilmu pengetahuan murid tidak semuanya berasal daripada maklumat deria yang wujud secara bebas dalam persekitaran yang diserap ke dalam fikiran murid melalui pengalaman pancaindera, atau kewujudan pengetahuan sejadi dalam mental, tetapi ilmu pengetahuan itu diperolehi dengan cara membina sendiri oleh setiap murid melalui pengalaman, renungan dan pengabstrakan.

  1. Pengertian Konstruktivisime

Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam minda manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah, maktab dan universiti tetapi tidak begitu ketara dan tidak ditekankan.

Mengikut kefahaman konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boeh dipindahkan daripada guru kepada guru dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu bina sesuatu pengetahuan iut mengikut pengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema iaiatu aktiviti mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran murid tidak akan menghadapi realiti yang wujud secara terasing dalam persekitaran. Realiti yang diketahui murid adalah realiti yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap persekitaran mereka.

Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil kira struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila maklumat baru telah disesuaikan dan diserap untik dijadikan sebahagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Proses ini dinamakan konstruktivisme.

Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahawa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman sedia ada murid.

Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahawa murid mempunyai idea mereka sendiri tentang hampir semua perkara, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika kefahaman dan miskonsepsi ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, kefahaman atau kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam peperiksaan mereka mungkin memberi jawapan seperti yang dikehendaki oleh guru.

John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahawa pendidik yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktiviti pengajaran dan pembelajaran.

Dari persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penyelidikan dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid meniur dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru kepada kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid membina skema pengkonsepan berdasarkan kepada pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penyelidikan daripada pembinaan model daripada kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep daripada kaca mata murid.

  1. Perbandingan Objektivisme Dengan Konstruktivisme

Paradigma pendidikan masa kini adalah kebanyakannya merupakan paradigma objektivisme. Paradigma ini gagal menyelesaikan banyak masalah dalam pendidikan. Perbezaan antara objektivisme dengan konstruktivisme adalah sangat nyata. Objektivisme berdasarkan tanggapan bahawa wujud pengetahuan di luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini, fungsi sains ialah untuk memastikan pengetahuan disampaikan secara objektif. Proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menyalarkan pengetahuan dari pendidik kepada murid. Pengetahuan sains dari perspektif konsruktivisme adalah penjelasan paling sesuai untuk menghuraikan fenomena yang diperhatikan.

Ahli objektivisme berpendapat bahawa kata pemutus tentang apa yang perlu diajar dan siapa yang patut mengajar adalah dibuat oleh `pakar' yang semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan ramai murid tidak dapat melihat keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak `pakar'. Model autoritarian ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting dalam bilik darjah. Murid dan juga orang awam beranggapan guru mempunyai segala jawapan bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan murid yang produktif dan berpengetahuan luas.

Dari pandangan ahli konstruktivisme, setiap orang murid mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. penekanan diberi kepada menyediakan murdi dengan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahan di mana mereka menghubungkaitkan pengalaman lampau mereka dengan kegunaan masa depen. murid bukan hanya dibekalkan dengan fakta-fakta sahaja, sebaliknya penekanan diberi kepada proses berfikir dan kemahiran berkomunikasi. Selepas satu sesi perbincangan murid bersama-sama menetnukan perkara penting yang harus dipelajari dan tujuan mempelajarinya. Dalam proses ini murid akan mengalami prosedur yang digunakan oleh seorang saiantis seperti menyelesaikan masalah dan memeriksa hasil yang diperolehi

Melalui penggunaan paradigma konstruktivisme, guru perlu mengubah peranannya dalam bilik sains. Guru mungkin akan berperanan sebagai pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana murid membina konsep atau pengetahuan. Justeru itu guru akan memperolehi kemahiran untuk membina dan mengubahsuai kefahaman serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahawa proses pembinaan dan pengubahsuaian konsep merupakan satu proses berterusan dalam kehidupan.

Dalam paradigma konstruktivisme, murid menganggap peranan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segla-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh disesuaikan dan boleh berubah. Mereka juga sedar bahawa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri untuk menggunakan pelbagai cara bagi memproses makluamt dan menyelesaikan masalah. Dalam erti kata lain, guru adalah berperanan sebagai seorang fasilitator dan pembimbing. Hubungan guru dengan murid boleh diumpamakan sebagai hubungan di antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu murid mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna. Guru tidak boleh belajar untuk murid. Murid yang membina fahaman sendiri.

Kebanyakan teknik penilaian sekarang adalah berdasarkan paradigma objektivisme. Dalam pengujian yang dijalankan, murid akan diuji sama ada dia dapat memberikan jawapan yang dikehendaki oleh penggubal soalan. Mereka juga dianggap mempunyai tafsiran yang sama dengan penggubal soalan tentang apa yang dikehendaki dalam soalan. Oleh yang demikan, soalan-soalan ujian tidak sebenarnya menguji kefahaman dan pengetahuan murid, tetapi hanya menguji kemahiran murid untuk membekalkan jawapan yang dikehendaki oleh penggubal soalan sahaja.

Menurut teori konstruktivisme, penilaian harus merangkumi cara menyelesaikan masalah dengan munasabah dan pengetahuan. Antara teknik-teknik penilaian yang sedemikian ialah peta konsep, rajah Venn, portfolio, ujian prestasi dan ujian berpasukan.

Pandangan ahli konstruktivisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeza dengan ahli objektivisme. Ahli konstruktivisme menganggap peranan guru adalah sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin murid dengan sempurna. murid diterima sebagi individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeza di mana setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri tentang perkara-perkara yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka akan lebih prihatin, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktiviti pembelajaran mereka.

Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahawa guru harus berperanan sebagai pengawal disiplin kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan undang-undang yang ditetapkan. Mereka yang ingkar akan didenda.

Pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan konstruktivisme memberi peluang kepada guru untuk memilih kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperolehi sesuatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian kendiri dan menilai kefahaman orang lain supaya kefahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.

Perbandingan Objektivisme Dengan Konstruktivisme Dalam Pendidikan

Objektivisme

Konstruktivisme

Tanggapan Utama

Pengetahuan wujud bebas dari persekitaran dalaman dan luaran pelajar

Pengetahuan bukan objektif, apa yang kita benar-benar tahu dan faham hanyalah persepsi kit. Ia ditentukan oleh kita semua. Pengetahuan tidak mempunyai struktur mutlak

Kesan

Guru menolong murid membina pengetahuan dan rangka konteks di mana ia wujud. Mereka mengguna analogi, contoh dan pelbagai kaedah mengingat. Mereka tanya soalan untuk membantu murid

Guru menolong murid membina kefahaman baru dan menolong murid merakamkannya ke dalam struktur kognitif sedia ada. Mereka melakukannya dengan menolong murid membentuk analogi, contoh dan kaedah mengingat murid sendiri, dan guru menolong murid membentuk soalan yang perlu ditanya bagi membimbing mereka ke arah kefahaman yang lebih tinggi

Respons Guru

"ada perkara yang anda hendak tahu dan saya akan ajar kepada anda apa yang saya tahu"
"Saya ajari ini, mereka belajar ini"
"Pelajar ini sungguh bijak, mereka belajar apa saja yang saya ajarkan"

"Ada perkara yang anda hendak tahu dan saya akan tolong anda mengetahui bagaimana anda boleh belajar mengenainya"
"Saya ajar ini, mereka belajar itu"
"Pelajar ini sungguh bijak, mereka belajar perkara yang saya tidak pernah rancang untuk ajar mereka"